Rumah

Rabu, 23 Oktober 2024

Cerpen : Di Balik Pintu Pabrik - Ibing Hermawan Purnomo

 


DI BALIK PINTU PABRIK

Penulis           : Ibing Hermawan Purnomo

 

Hari itu, gerimis turun lembut di atas atap seng pabrik. Buruh-buruh mulai berdatangan satu per satu, langkah mereka tergesa, seolah menghindari air hujan yang menetes dari atap-atap bocor di beberapa bagian pabrik. Bagi orang-orang seperti Pak Amin, gerimis hanyalah bagian lain dari kehidupan yang tak pernah benar-benar cerah.

 

Pak Amin, pria berusia 48 tahun dengan tubuh ringkih, sudah bekerja di pabrik tekstil itu lebih dari dua dekade. Setiap hari, ia berdiri di depan mesin tenun yang berderak tanpa henti, memintal benang menjadi kain yang tak pernah ia pakai. Hidupnya, seperti pabrik ini, adalah rangkaian hari-hari yang monoton, berputar dalam lingkaran pekerjaan tanpa tujuan yang jelas.

 

Namun hari ini ada sesuatu yang berbeda. Ada riak ketidakpuasan yang mulai merebak di antara buruh-buruh lainnya. Bisik-bisik tentang pemotongan upah mulai terdengar semakin kencang. Upah yang sudah sangat minim akan dipotong lagi untuk alasan yang tak pernah jelas. Manajer pabrik, yang jarang terlihat, hanya mengatakan bahwa "kondisi pasar" memaksa mereka melakukan pengurangan biaya.

 

Pak Amin mendengar bisik-bisik itu sejak kemarin, namun ia memilih untuk diam. Baginya, diam adalah satu-satunya cara bertahan. Hidup terlalu keras untuk dilawan. Ia telah mencoba berteriak satu kali dalam hidupnya—itu ketika ia meminta kenaikan gaji lima tahun lalu. Hasilnya? Ia hampir kehilangan pekerjaannya. Sejak saat itu, ia belajar bahwa teriakannya tak akan pernah didengar.

 

Di sudut lain pabrik, Yanti, seorang perempuan muda yang baru bekerja enam bulan di sana, tampak gelisah. Sejak kabar pemotongan upah beredar, ia tak bisa tenang. Hidupnya di Jakarta, jauh dari kampung halaman, bergantung pada gaji yang hampir tak cukup untuk membayar sewa kamar kosnya yang sempit.

 

“Pak, kalau upah kita dipotong lagi, saya nggak tahu gimana caranya bayar sewa bulan depan,” katanya suatu pagi pada Pak Amin, sambil memasukkan benang ke mesin pemintal di depannya.

 

Pak Amin hanya mengangguk pelan. Ia tahu betul bagaimana perasaan Yanti, meski ia tak mengatakan apa-apa. Ketakutan perempuan muda itu adalah ketakutan yang pernah ia alami bertahun-tahun lalu, ketika anak-anaknya masih kecil dan istrinya sedang sakit parah. Saat itu, hidupnya terasa seperti dinding yang semakin menyempit, menekan dari segala arah, sementara napasnya mulai tersendat.

 

*

 

Hari itu, saat jam istirahat, buruh-buruh berkumpul di luar pabrik. Biasanya, mereka duduk di bawah pohon rindang atau di bangku semen di sekitar halaman, berbagi cerita sambil mengunyah bekal yang dibawa dari rumah. Namun hari ini, tak ada tawa yang terdengar, hanya percakapan serius yang dipenuhi rasa frustrasi.

 

"Kalau kita terus begini, lama-lama kita mati kelaparan," kata Herman, salah satu buruh senior yang terkenal vokal dalam menyuarakan ketidakpuasan.

 

"Bener tuh, Man," Yanti menimpali dengan suara tegas. "Kita udah kerja mati-matian, tapi nggak pernah dihargai. Kalau gaji dipotong, kita gimana?"

 

Pak Amin mendengar percakapan itu dari kejauhan. Ia duduk di bawah pohon, menghisap rokok kretek yang sudah terbakar separuh. Tubuhnya lelah, dan pikiran tentang pemberontakan hanya membuatnya semakin penat. Ia sudah terlalu tua untuk bermimpi ada perubahan. Tapi mendengar suara-suara muda itu, hatinya tak bisa sepenuhnya diam.

 

“Kita mogok saja,” kata Herman tiba-tiba, membuat semua orang menoleh. “Kita semua tahu, kalau kita nggak kerja, pabrik ini juga nggak bakal jalan.”

 

Pak Amin merasakan detak jantungnya sedikit meningkat. Mogok? Pikiran itu terasa berbahaya, seperti api kecil yang bisa menyebar dengan cepat. Ia tahu, mogok adalah cara terakhir yang dipilih ketika semua jalan lain sudah buntu. Namun, ia juga tahu risiko yang ada di baliknya.

 

“Kamu yakin, Man? Kalau kita mogok, bisa-bisa kita malah dipecat,” kata Sarto, buruh lain yang lebih muda, dengan nada khawatir.

 

“Kita harus ambil risiko. Kalau kita diem aja, mereka akan terus nginjak-nginjak kita,” Herman bersikeras. “Mereka tahu kita butuh pekerjaan ini, tapi kalau kita bersatu, mereka nggak akan berani ngelakuin apa-apa.”

 

Pak Amin masih diam. Dalam hatinya, ia setuju dengan Herman. Tapi ia tahu, tidak semua buruh punya keberanian untuk menghadapi konsekuensi yang mungkin terjadi. Hidup mereka terlalu bergantung pada pabrik ini. Di luar sana, lapangan pekerjaan semakin sulit didapat. Jika mereka dipecat, ke mana mereka akan pergi?

 

*

 

Malamnya, saat Pak Amin duduk di teras rumahnya yang sempit, istrinya, Murni, datang menghampiri. Wajah perempuan itu penuh keriput, namun matanya masih menyorotkan kekuatan yang sama seperti ketika mereka pertama kali menikah.

 

“Kamu udah denger soal pemotongan gaji itu?” tanya Murni dengan suara pelan. Ia tahu suaminya tidak suka membicarakan hal-hal seperti itu di rumah.

 

Pak Amin hanya mengangguk. “Ya, udah.”

 

“Gimana rencananya?” Murni duduk di sebelahnya. “Teman-temanmu di pabrik mau gimana?”

 

“Banyak yang ngomong soal mogok,” jawab Pak Amin akhirnya.

 

Murni menatap suaminya dengan cemas. “Kamu nggak ikutan, kan?”

 

Pak Amin tidak langsung menjawab. Pikirannya penuh dengan pertimbangan. Di satu sisi, ia tahu bahwa jika mereka tidak melakukan apa-apa, hidup mereka akan semakin sulit. Namun, di sisi lain, ia juga tahu risiko mogok bisa sangat besar.

 

“Kamu tahu, Min,” katanya akhirnya. “Aku cuma mau bertahan. Hidup udah susah. Aku nggak mau kita tambah susah lagi.”

 

Murni terdiam. Ia tahu apa yang suaminya rasakan. Tapi ia juga tahu, hidup seperti ini tidak bisa terus berjalan. "Amin, kita sudah bertahan bertahun-tahun. Tapi kalau terus bertahan tanpa melawan, kapan kita bisa hidup lebih baik?"

 

Pak Amin memandang wajah istrinya, yang kini tampak lebih tua dari usianya. Murni benar. Mereka telah bertahan terlalu lama. Tapi apakah ia benar-benar bisa melawan?

 

*

 

Esok paginya, Pak Amin tiba di pabrik seperti biasa. Namun ada yang berbeda. Di pintu masuk, para buruh berkumpul. Herman berdiri di depan, berteriak-teriak, mengajak semua orang untuk ikut mogok. Yanti berada di sampingnya, memegang papan bertuliskan “Kami Butuh Keadilan”.

 

Pak Amin berdiri di belakang kerumunan, menatap pintu pabrik yang tertutup. Ia tahu, di balik pintu itu, manajemen sedang memantau situasi. Mereka mungkin sudah siap dengan rencana untuk menghadapi para buruh. Mungkin ada ancaman pemecatan, mungkin ada tawaran kompromi. Tapi apapun yang terjadi, hari ini adalah titik balik.

 

“Pak Amin!” suara Herman memanggilnya. “Ayo, Pak! Kita nggak bisa mundur sekarang!”

 

Pak Amin terdiam. Di dalam dirinya, ada perang antara rasa takut dan rasa marah. Ia tahu, mogok adalah pilihan yang berbahaya. Tapi di saat yang sama, ia juga tahu bahwa hidupnya tak akan pernah berubah jika ia terus diam.

 

Akhirnya, dengan langkah berat, Pak Amin maju ke depan. Ia berdiri di samping Herman, memandang wajah-wajah lelah di sekitarnya. Hari ini, ia memutuskan untuk melawan. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk semua orang yang telah bertahan terlalu lama.

 

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Pak Amin merasakan ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Sesuatu yang selama ini tertindas, kini mulai bangkit.

 

Medan, Oktober 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

40 Soal Pilihan Berganda Pembahasan Cerpen

  1. Menurut Nurgiyantoro, cerpen bertujuan untuk:     a. Menyajikan cerita panjang                                                      ...