DI BALIK PINTU PABRIK
Penulis : Ibing Hermawan Purnomo
Hari
itu, gerimis turun lembut di atas atap seng pabrik. Buruh-buruh mulai
berdatangan satu per satu, langkah mereka tergesa, seolah menghindari air hujan
yang menetes dari atap-atap bocor di beberapa bagian pabrik. Bagi orang-orang
seperti Pak Amin, gerimis hanyalah bagian lain dari kehidupan yang tak pernah
benar-benar cerah.
Pak
Amin, pria berusia 48 tahun dengan tubuh ringkih, sudah bekerja di pabrik
tekstil itu lebih dari dua dekade. Setiap hari, ia berdiri di depan mesin tenun
yang berderak tanpa henti, memintal benang menjadi kain yang tak pernah ia
pakai. Hidupnya, seperti pabrik ini, adalah rangkaian hari-hari yang monoton,
berputar dalam lingkaran pekerjaan tanpa tujuan yang jelas.
Namun
hari ini ada sesuatu yang berbeda. Ada riak ketidakpuasan yang mulai merebak di
antara buruh-buruh lainnya. Bisik-bisik tentang pemotongan upah mulai terdengar
semakin kencang. Upah yang sudah sangat minim akan dipotong lagi untuk alasan
yang tak pernah jelas. Manajer pabrik, yang jarang terlihat, hanya mengatakan
bahwa "kondisi pasar" memaksa mereka melakukan pengurangan biaya.
Pak
Amin mendengar bisik-bisik itu sejak kemarin, namun ia memilih untuk diam.
Baginya, diam adalah satu-satunya cara bertahan. Hidup terlalu keras untuk
dilawan. Ia telah mencoba berteriak satu kali dalam hidupnya—itu ketika ia
meminta kenaikan gaji lima tahun lalu. Hasilnya? Ia hampir kehilangan
pekerjaannya. Sejak saat itu, ia belajar bahwa teriakannya tak akan pernah
didengar.
Di
sudut lain pabrik, Yanti, seorang perempuan muda yang baru bekerja enam bulan
di sana, tampak gelisah. Sejak kabar pemotongan upah beredar, ia tak bisa
tenang. Hidupnya di Jakarta, jauh dari kampung halaman, bergantung pada gaji
yang hampir tak cukup untuk membayar sewa kamar kosnya yang sempit.
“Pak,
kalau upah kita dipotong lagi, saya nggak tahu gimana caranya bayar sewa bulan
depan,” katanya suatu pagi pada Pak Amin, sambil memasukkan benang ke mesin
pemintal di depannya.
Pak
Amin hanya mengangguk pelan. Ia tahu betul bagaimana perasaan Yanti, meski ia
tak mengatakan apa-apa. Ketakutan perempuan muda itu adalah ketakutan yang
pernah ia alami bertahun-tahun lalu, ketika anak-anaknya masih kecil dan
istrinya sedang sakit parah. Saat itu, hidupnya terasa seperti dinding yang semakin
menyempit, menekan dari segala arah, sementara napasnya mulai tersendat.
*
Hari
itu, saat jam istirahat, buruh-buruh berkumpul di luar pabrik. Biasanya, mereka
duduk di bawah pohon rindang atau di bangku semen di sekitar halaman, berbagi
cerita sambil mengunyah bekal yang dibawa dari rumah. Namun hari ini, tak ada
tawa yang terdengar, hanya percakapan serius yang dipenuhi rasa frustrasi.
"Kalau
kita terus begini, lama-lama kita mati kelaparan," kata Herman, salah satu
buruh senior yang terkenal vokal dalam menyuarakan ketidakpuasan.
"Bener
tuh, Man," Yanti menimpali dengan suara tegas. "Kita udah kerja
mati-matian, tapi nggak pernah dihargai. Kalau gaji dipotong, kita
gimana?"
Pak
Amin mendengar percakapan itu dari kejauhan. Ia duduk di bawah pohon, menghisap
rokok kretek yang sudah terbakar separuh. Tubuhnya lelah, dan pikiran tentang
pemberontakan hanya membuatnya semakin penat. Ia sudah terlalu tua untuk
bermimpi ada perubahan. Tapi mendengar suara-suara muda itu, hatinya tak bisa
sepenuhnya diam.
“Kita
mogok saja,” kata Herman tiba-tiba, membuat semua orang menoleh. “Kita semua
tahu, kalau kita nggak kerja, pabrik ini juga nggak bakal jalan.”
Pak
Amin merasakan detak jantungnya sedikit meningkat. Mogok? Pikiran itu terasa
berbahaya, seperti api kecil yang bisa menyebar dengan cepat. Ia tahu, mogok
adalah cara terakhir yang dipilih ketika semua jalan lain sudah buntu. Namun,
ia juga tahu risiko yang ada di baliknya.
“Kamu
yakin, Man? Kalau kita mogok, bisa-bisa kita malah dipecat,” kata Sarto, buruh
lain yang lebih muda, dengan nada khawatir.
“Kita
harus ambil risiko. Kalau kita diem aja, mereka akan terus nginjak-nginjak
kita,” Herman bersikeras. “Mereka tahu kita butuh pekerjaan ini, tapi kalau
kita bersatu, mereka nggak akan berani ngelakuin apa-apa.”
Pak
Amin masih diam. Dalam hatinya, ia setuju dengan Herman. Tapi ia tahu, tidak
semua buruh punya keberanian untuk menghadapi konsekuensi yang mungkin terjadi.
Hidup mereka terlalu bergantung pada pabrik ini. Di luar sana, lapangan
pekerjaan semakin sulit didapat. Jika mereka dipecat, ke mana mereka akan
pergi?
*
Malamnya,
saat Pak Amin duduk di teras rumahnya yang sempit, istrinya, Murni, datang
menghampiri. Wajah perempuan itu penuh keriput, namun matanya masih menyorotkan
kekuatan yang sama seperti ketika mereka pertama kali menikah.
“Kamu
udah denger soal pemotongan gaji itu?” tanya Murni dengan suara pelan. Ia tahu
suaminya tidak suka membicarakan hal-hal seperti itu di rumah.
Pak
Amin hanya mengangguk. “Ya, udah.”
“Gimana
rencananya?” Murni duduk di sebelahnya. “Teman-temanmu di pabrik mau gimana?”
“Banyak
yang ngomong soal mogok,” jawab Pak Amin akhirnya.
Murni
menatap suaminya dengan cemas. “Kamu nggak ikutan, kan?”
Pak
Amin tidak langsung menjawab. Pikirannya penuh dengan pertimbangan. Di satu
sisi, ia tahu bahwa jika mereka tidak melakukan apa-apa, hidup mereka akan
semakin sulit. Namun, di sisi lain, ia juga tahu risiko mogok bisa sangat
besar.
“Kamu
tahu, Min,” katanya akhirnya. “Aku cuma mau bertahan. Hidup udah susah. Aku nggak
mau kita tambah susah lagi.”
Murni
terdiam. Ia tahu apa yang suaminya rasakan. Tapi ia juga tahu, hidup seperti
ini tidak bisa terus berjalan. "Amin, kita sudah bertahan bertahun-tahun.
Tapi kalau terus bertahan tanpa melawan, kapan kita bisa hidup lebih
baik?"
Pak
Amin memandang wajah istrinya, yang kini tampak lebih tua dari usianya. Murni
benar. Mereka telah bertahan terlalu lama. Tapi apakah ia benar-benar bisa
melawan?
*
Esok
paginya, Pak Amin tiba di pabrik seperti biasa. Namun ada yang berbeda. Di
pintu masuk, para buruh berkumpul. Herman berdiri di depan, berteriak-teriak,
mengajak semua orang untuk ikut mogok. Yanti berada di sampingnya, memegang
papan bertuliskan “Kami Butuh Keadilan”.
Pak
Amin berdiri di belakang kerumunan, menatap pintu pabrik yang tertutup. Ia
tahu, di balik pintu itu, manajemen sedang memantau situasi. Mereka mungkin
sudah siap dengan rencana untuk menghadapi para buruh. Mungkin ada ancaman
pemecatan, mungkin ada tawaran kompromi. Tapi apapun yang terjadi, hari ini
adalah titik balik.
“Pak
Amin!” suara Herman memanggilnya. “Ayo, Pak! Kita nggak bisa mundur sekarang!”
Pak
Amin terdiam. Di dalam dirinya, ada perang antara rasa takut dan rasa marah. Ia
tahu, mogok adalah pilihan yang berbahaya. Tapi di saat yang sama, ia juga tahu
bahwa hidupnya tak akan pernah berubah jika ia terus diam.
Akhirnya,
dengan langkah berat, Pak Amin maju ke depan. Ia berdiri di samping Herman,
memandang wajah-wajah lelah di sekitarnya. Hari ini, ia memutuskan untuk
melawan. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk semua orang yang telah
bertahan terlalu lama.
Dan
untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Pak Amin merasakan ada sesuatu yang
berubah di dalam dirinya. Sesuatu yang selama ini tertindas, kini mulai
bangkit.
Medan, Oktober 2024

Tidak ada komentar:
Posting Komentar